KATA PENGANTAR
Segala
puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat, taufik, hidayah serta inayahnya kepada kita semua sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Sholawat dan salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah
menuntun kita dari jaman Jahiliyah menuju jaman Islamiyah yaitu berupa ajaran
agama Islam.
Laporan
ini disusun agar kita mengetahui dan memahami mengenai Kawin Kontrak Menurut
Pandangan Islam. Laporan ini disusun tidak mudah seperti membalikkan telapak
tangan, banyak hambatan-hambatan terutama disebabkan oleh ketidaktahuan ilmu
pengetahuan. Namun dengan segala ikhtiar, kemauan, kerja keras, motivasi dari
pihak-pihak yang terkait, dan atas kehendak-NYA saya dapat menyelesaikan
laporan ini.
Tidak
ada gading yang tak retak. Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari
kata sempura bahkan masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu saya
mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun.
Semoga
Laporan yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin
Yarobbal’alamin.
Bangkalan, 17 Desember
2014
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
SAMPUL........................................................................................................................ i
KATA
PENGANTAR.......................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................................................................... 1
DAFTAR ISI...................................................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................................................................... 1
1.1 Rumusan Masalah.................................................................................................................... 1
1.2
Tujuan..................................................................................................................................... 2
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Kawin Kontrak......................................................................................................... 3
2.2. Sejarah Kawin Kontrak Pada Masa Rasullullah SAW.................................................................... 4
2.3. Landasan Hukum Kawin Kontrak Menurut Undang-Undang Dan Syari’at Islam........................... 7
2.4 Dampak Negatif Dan Positif Adanya Kawin Kontrak.................................................................... 13
2.5. Sebab-Sebab Diharamkannya Nikah Mut’ah.............................................................................. 14
2.2. Sejarah Kawin Kontrak Pada Masa Rasullullah SAW.................................................................... 4
2.3. Landasan Hukum Kawin Kontrak Menurut Undang-Undang Dan Syari’at Islam........................... 7
2.4 Dampak Negatif Dan Positif Adanya Kawin Kontrak.................................................................... 13
2.5. Sebab-Sebab Diharamkannya Nikah Mut’ah.............................................................................. 14
BAB 3 PENUTUP
3.1.
Kesimpulan............................................................................................................................... 17
3.2. Saran........................................................................................................................................ 17
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................................................... 19
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang.
Dengan berjalan waktu fenomena dan segala permasalah
yang timbul semakin kompleks. Banyak permasalahan yang terjadi pada dewasa ini belum
atau bahkan tidak terjadi sama sekali pada zaman Rasulullah SAW. dan para ulama
ahli fiqh lainnya. Sehingga sering sekali terjadi silang pendapat untuk
menyelesaikannya.
Dalam kehidupan manusia, pada usia tertentu, bagi
seorang pria maupun seorang wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama dengan
lawan jenisnya. Hidup bersama antara seorang pria dan wanita tersebut tidak
selalu ditujukan untuk memenuhi kebutuhan biologis, namun juga keinginan
mendapat anak keturunannya, maupun hanya untuk memenuhi hawa nafsu belaka.
Allah menetapkan adanya aturan tentang pernikahan bagi
manusia. Tujuannya untuk menyelamatkan dan mengatur kehidupan manusia. Manusia
tidak boleh berbuat semaunya seperti binatang, kawin dengan lawan jenis
semaunya. Allah telah memberikan batas dengan peraturan-peraturannya, yaitu
dengan syari’at yang terdapat dalam kitab-Nya dan hadist rasul-Nya dengan
hukum-hukum pernikahan. Pernikahan adalah sunatullah, hukum alam di dunia dan
merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita.
Namun, dewasa ini mulai populer adanya kawin kontrak.
Atau dalam istilah fiqih disebut dengan nikah mut’ah. Bagaimanakah islam
menanggapi fenomena tersebut? Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas
mengenai kawin kontrak menurut sudut pandang Islam.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian kawin kontrak?
2. Bagaimanakah
sejarah kawin kontrak pada masa Rasulullah SAW?
3. Apa landasan
hukum kawin kontrak menurut undang-undang dan syari’at Islam?
4. Apa dampak
negatif dan positif kawin kontrak?
5.
Apa penyebab dilakukannya kawin kontrak?
C.
Tujuan.
1. Untuk
mengetahui dan memahami pengertian kawin kontrak.
2. Untuk
mengetahui dan memahami sejarah kawin kontrak pada masa Rasulullah
SAW.
SAW.
3. Untuk
mengetahui dan memahami landasan hukum kawin kontrak menurut
undang-undang dan syari’at Islam.
undang-undang dan syari’at Islam.
4. Untuk
mengetahui dan memahami dampak negatif dan positif adanya kawin
kontrak.
kontrak.
5.
Untuk mengetahui dan memahami
penyebab dilakukannya kawin kontrak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kawin Kontrak.
Dalam bahasa Indonesia, “perkawinan” berasal dari kata
“kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis,
melakukan hubungan kelamin, atau bersetubuh.[Anton Muliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta,
Balai Pustaka,1994), 456].
Sedangkan
“kontrak” berarti persetujuan yang bersanksi hukum antara dua pihak atau lebih
untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan. Kawin kontrak dalam istilah
fiqih dikenal sebagai nikah mut’ah.
Dalam istilah yang lain, nikah mut’ah
disebut juga nikah sementara (nikah muaqqot) atau nikah terputus (nikah
munqothi’).
Menurut Dr. H. Mahjuddin, M.Pd. I, kawin kontrak
merupakan tradisi masyarakat jahiliyah. [ Mahjuddin, Masailul
Fiqhiyah (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), 51].Yang pengertiannya menurut Sayyid
Syabiq, “kawin kontrak adalah adanya seorang pria mengawini wanita selama
sehari, atau seminggu, atau sebulan.” Dan dinamakan muth’ah karena laki-laki
mengambil manfaat serta merasa cukup dengan melangsungkan perkawinan dan
bersenang-senang sampai kepada waktu yang telah ditentukannya.[
Sayyid Syabiq, Fikih Sunnah 6 (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1980), 63]
Nikah mut’ah adalah nikah untuk bersenang-senang dalam
masa tertentu. Misalnya dikatakan oleh walinya,” Aku nikahkan engkau dengan
Fatimah untuk sebulan saja”.[ M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Jakarta : PT
Rajagrafindo Persada,2010), 89].
Perkawinan
adalah sunatullah, hukum alam di dunia. Perkawinan yang merupakan sunatullah
pada dasarnya adalah mubah tergantung pada tingkat maslahatnya. Disini,
perbedaan tingkat larangan sesuai dengan kadar kemampuan merusak dan dampak
negatif yang ditimbulkannya.
Secara istilah, kawin kontrak adalah pernikahan antara
laki-laki dan perempuan dengan menyebutkan batas waktu tertentu ketika akad
nikah, misalnya satu minggu, satu bulan, satu tahun, dan sebagainya. Apabila
telah sampai pada waktu yang ditetapkan, maka pernikahan itu putus dengan
sendirinya tanpa kata thalaq dan tanpa warisan.[Team Musyawarah
Guru Bina PAI Madrasah Aliyah, Al Hikmah
Fiqih ( Sragen: Akik Pusaka, 2008), 10]. Nikah mut’ah cenderung bertujuan
untuk hiburan, bersenang-senang, dan melampiaskan hawa nafsu semata.
Dalam nikah mut’ah si wanita yang menjadi istri juga tidak mempunyai hak
waris jika si suami meninggal. Dengan begitu, tujuan nikah mut’ah ini tidak
sesuai dengan tujuan nikah menurut ajaran Islam sebagaimana disebutkan di atas,
dan dalam nikah mut’ah ini pihak wanita teramat sangat dirugikan.
Oleh karenanya nikah mut’ah ini dilarang oleh Islam. Dalam hal ini syaikh
al-Bakri dalam kitabnya I’anah at-Thalibinmenyatakan:
وعلى كل فهو
حرام ، إنما سمي بذلك لان الغرض منه مجرد التمتع لا التوالد والتوارث اللذان هما
الغرض الاصلي
من النكاح المقتضيان للدوام.
“Kesimpulannya,
nikah mut’ah ini haram hukumnya. Nikah ini disebut nikah mut’ah karena
tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah
tangga yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan
tujuan utama dari ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya
pernikahan”.
Kawin
kontrak dalam Islam disebut dengan istilah nikah mut’ah. Hukumnya adalah haram
dan akad nikahnya tidak sah alias batal. Hal ini sama saja dengan orang sholat
tanpa berwudhu’, maka sholatnya tidak sah alias batal. Tidak diterima oleh
Allah SWT sebagai ibadah. Demikian pula orang yang melakukan kawin kontrak akad
nikahnya tidak sah alias batal, dan tidak diterima Allah SWT sebagai amal
ibadah.
B.
Sejarah Kawin
Kontrak Pada Masa Raulullah SAW.
Jika kita tengok sejarah awal Islam,
dimana ketika itu masyarakat jahiliyah
tidak memberikan kepada wanita hak-haknya sebagaimana mestinya karena wanita ketika itu lebih dianggap sebagai barang yang bisa ditukar seenaknya, dapat kita ketahui betapa ajaran Islam menginginkan agar para wanita dapat diberikan hak-haknya sebagaimana mestinya.
tidak memberikan kepada wanita hak-haknya sebagaimana mestinya karena wanita ketika itu lebih dianggap sebagai barang yang bisa ditukar seenaknya, dapat kita ketahui betapa ajaran Islam menginginkan agar para wanita dapat diberikan hak-haknya sebagaimana mestinya.
Pada zaman Rasulullah, saat itu
Rasulullah mengizinkan tentaranya yang terpisah jauh dari istrinya untuk
melakukan nikah mut’ah, dari pada melakukan penyimpangan. Namun kemudian
Rasulullah mengharamkannya ketika melakukan pembebasan kota Mekah pada tahun 8
H / 630 M.
Nikah mut’ah diawal-awal Islam
dihukumi halal lalu dinaskh (dihapus). Nikah ini menjadi haram hingga hari
kiamat. Demikianlah yang menjadi pegangan jumhur (mayoritas) sahabat, tabi’in dan para ulama madzhab
(Shahih Fiqh Sunnah, 2: 99). Dari Sabroh Al Juhaniy radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata.
أَمَرَنَا
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالْمُتْعَةِ عَامَ الْفَتْحِ حِينَ
دَخَلْنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ مِنْهَا حَتَّى نَهَانَا عَنْهَ
ا.
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan
kami untuk
melakukan nikah mut’ah pada saat Fathul Makkah ketika memasuki kota Makkah. Kemudian sebelum kami meninggalkan Makkah, beliau pun telah melarang kami dari bentuk nikah tersebut.” (HR. Muslim no. 1406)
melakukan nikah mut’ah pada saat Fathul Makkah ketika memasuki kota Makkah. Kemudian sebelum kami meninggalkan Makkah, beliau pun telah melarang kami dari bentuk nikah tersebut.” (HR. Muslim no. 1406)
Dalam riwayat lain dari Sabroh, ia berkata bahwa dia
pernah ikut berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat
penaklukan kota Mekkah. Ia berkata:
فَأَقَمْنَا
بِهَا خَمْسَ عَشْرَةَ - ثَلاَثِينَ بَيْنَ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ - فَأَذِنَ لَنَا
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى مُتْعَةِ النِّسَاءِ ...
ثُمَّ
اسْتَمْتَعْتُ مِنْهَا فَلَمْ أَخْرُجْ حَتَّى حَرَّمَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم.
“Kami menetap selama 15 hari
(kira-kira antara 30 malam atau 30 hari). Awalnya
Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam mengizinkan kami untuk melakukan nikah
mut’ah dengan wanita... Kemudian aku melakukan nikah mut’ah (dengan seorang
gadis). Sampai aku keluar Mekkah, turunlah pengharaman nikah mut’ah dari
Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam.” (HR. Muslim no. 1406).
Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam mengizinkan kami untuk melakukan nikah
mut’ah dengan wanita... Kemudian aku melakukan nikah mut’ah (dengan seorang
gadis). Sampai aku keluar Mekkah, turunlah pengharaman nikah mut’ah dari
Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam.” (HR. Muslim no. 1406).
Saat kekhalifahan
Ali mulai terdapat perdebatan soal kawin mut'ah antara Sunni dan
Syiah. Sunni mengatakan, kawin mutah telah dilarang oleh Nabi Muhammad
SAW pada berbagai kesempatan. Dan menurut Syiah, Nabi juga pernah
memperbolehkannya dalam berbagai kesempatan. Yang telah menjadi kesepakatan
sejarah, Umar bin Khatthab ra. saat menjabat Khalifah telah melarangnya.
Syiah. Sunni mengatakan, kawin mutah telah dilarang oleh Nabi Muhammad
SAW pada berbagai kesempatan. Dan menurut Syiah, Nabi juga pernah
memperbolehkannya dalam berbagai kesempatan. Yang telah menjadi kesepakatan
sejarah, Umar bin Khatthab ra. saat menjabat Khalifah telah melarangnya.
Adapun para ulama berpendapat yang berbeda-beda
tentang hukum kawin kontrak atau nikah
mut’ah diantaranya, ialah Ada pendapat yang membolehkan nikah mut’ah ini
berdasarkan fatwa sahabat Ibnu Abbas r.a., padahal fatwa tersebut telah
direvisi oleh Ibnu Abbas sendiri, sebagaimana disebutkan dalam kitab fiqh
as-sunnah:
وقد روي عن بعض الصحابة وبعض التابعين
أن زواج المتعة حلال، واشتهر ذلك عن ابن عباس رضي الله عنه،
وفي تهذيب السنن: وأما ابن عباس فانه سلك هذا
المسلك في إباحتها عند الحاجة والضرورة، ولم يبحها مطلقا،
فلما بلغه إكثار الناس منها رجع.فقال ابن عباس:
(إنا لله وإنا إليه راجعون)! والله ما بهذا أفتيت، ولا هذا أردت،
ولا أحللت إلا مثل ما أحل الله الميتة والدم
ولحم الخنزير، وما تحل إلا للمضطر، وما هي إلا كالميتة والدم ولحم الخنزير.
Diriwayatkan
dari beberapa sahabat dan beberapa tabi’in bahwa nikah mut’ah hukumnya boleh,
dan yang paling populer pendapat ini dinisbahkan kepada sahabat Ibnu Abbas
r.a., dan dalam kitab Tahzhib as-Sunan dikatakan: sedangkan Ibnu Abbas
membolehkan nikah mut’ah ini tidaklah secara mutlak, akan tetapi hanya ketika
dalam keadaan dharurat. Akan tetapi ketika banyak yang melakukannya dengan
tanpa mempertimbangkan kedharuratannya, maka ia merefisi pendapatnya tersebut.
Ia berkata:
“inna lillahi wainna ilaihi
raji’un, demi Allah saya tidak memfatwakan seperti itu (hanya untuk kesenangan
belaka), tidak seperti itu yang saya inginkan. Saya tidak menghalalkan nikah
mut’ah kecuali ketika dalam keadaan dharurat, sebagaimana halalnya bangkai,
darah dan daging babi ketika dalam keadaan dharurat, yang asalnya tidak halal
kecuali bagi orang yang kepepet dalam keadaan dharurat. Nikah mut’ah itu sama
seperti bangkai, darah, dan daging babi, yang awalnya haram hukumnya, tapi
ketika dalam keadaan dharurat maka hukumnya menjadi boleh”
Namun
demikian, pendapat yang menghalalkan nikah mut’ah tersebut tidaklah kuat untuk
dijadikan dasar hukum. Sedangkan pendapat yang mengharamkannya dasar hukumnya
sangat kuat, sebab dilandaskan di atas hadis shahih sebagai berikut :
عَنْ عَلِيٍّ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْه قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ الْمُتْعَةِ عَامَ خَيْبَرَ (متفق عليه)
“Diriwayatkan
bahwa sahabat Ali r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. melarang nikah mut’ah ketika
perang Khaibar” Hadis dianggap shahih oleh imam Bukhari dan
Muslim”
عَنْ
سَلَمَةَ بن الأكوع رضي الله عنه قَالَ: رَخَّصَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ أَوْطَاسٍ فِي الْمُتْعَةِ ثَلَاثًا
ثُمَّ نَهَى
عَنْهَا (رواه مسلم)
“Diriwayatkan
bahwa sahabat Salamah bin al-Akwa’ r.a. berkata: Rasulullah s.a.w.
memperbolehkan nikah mut’ah selama tiga hari pada tahun Authas (ketika
ditundukkannya Makkah, fathu Makkah) kemudian (setelah itu) melarangnya” HR.
Muslim.
عن رَّبِيعُ
بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ
كُنْتُ أَذِنْتُ
لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنْ النِّسَاءِ
وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ
عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ وَلَا تَأْخُذُوا
مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا (أخرجه مسلم
وأبو داوود والنسائي وابن ماجة وأحمد وابن حبان)
“Diriwayatkan
dari Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda: “wahai
sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah mut’ah, dan
sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya
barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan
jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ah” HR.
Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.
Hadis-hadis
tersebut cukup kuat untuk dijadikan pijakan menetapkan hukum haram bagi nikah
mut’ah, dan sangat terang benderang menjelaskan bahwa Islam melarang nikah
mut’ah. Oleh karena itu, jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka
ia telah dianggap melanggar ajaran Islam dan secara otomatis nikahnya tersebut
batal, sebagaimana disebutkan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih
Muslim:
وَأَجْمَعُوا
عَلَى أَنَّهُ مَتَى وَقَعَ نِكَاح الْمُتْعَة الْآن حُكِمَ بِبُطْلَانِهِ سَوَاء
كَانَ قَبْل الدُّخُول أَوْ بَعْده
“Para ulama
sepakat (ijma’) bahwa jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka
hukumnya tidak sah (batal), baik sebelum atau sesudah dilakukan hubungan badan”.
C.
Landasan
Hukum Kawin Kontrak Menurut Undang-Undang Dan Syari’at Islam
1. Menurut
undang-undang perkawinan di Indonesia.
Kawin kontrak merupakan salah satu
jenis perkawinan yang masuk ke dalam
kategori “perkawinan yang timpang” karena tidak memenuhi ketiga aspek tersebut
melainkan hanya dilakukan berdasarkan nafsu duniawi semata.
kategori “perkawinan yang timpang” karena tidak memenuhi ketiga aspek tersebut
melainkan hanya dilakukan berdasarkan nafsu duniawi semata.
Dalam sudut
pandang hukum, kawin kontrak pada dasarnya tidak
diperkenankan oleh hukum perkawinan Indonesia yaitu yang terangkum dalam
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 1 Undang-undang
Perkawinan menyatakan bahwa ” Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.”[Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan
(Yogyakarta:Liberty, 2007), 138].
diperkenankan oleh hukum perkawinan Indonesia yaitu yang terangkum dalam
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 1 Undang-undang
Perkawinan menyatakan bahwa ” Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.”[Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan
(Yogyakarta:Liberty, 2007), 138].
Selanjutnya Pasal 2 ayat (1)
menyatakan bahwa “Perkawinanan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
[Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan
(Yogyakarta: Liberty, 2007), 138].
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
[Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan
(Yogyakarta: Liberty, 2007), 138].
Ketentuan
diatas mengandung pengertian bahwa apabila sebuah perkawinan
dilakukan tidak berdasarkan agama dan kepercayaan dari masing-masing pihak,
maka secara hukum tidak akan diakui keabsahannya. Ketentuan agama dalam hal ini
tidak hanya diberi pengertian terpenuhinya syarat-syarat konkrit seperti adanya dua
calon mempelai, persetujuan orang tua, maupun mahar, dan lain-lainnya, tetapi juga
harus terpenuhinya tujuan dari perkawinan itu sendiri yaitu untuk membentuk
sebuah keluarga yang bahagia berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
dilakukan tidak berdasarkan agama dan kepercayaan dari masing-masing pihak,
maka secara hukum tidak akan diakui keabsahannya. Ketentuan agama dalam hal ini
tidak hanya diberi pengertian terpenuhinya syarat-syarat konkrit seperti adanya dua
calon mempelai, persetujuan orang tua, maupun mahar, dan lain-lainnya, tetapi juga
harus terpenuhinya tujuan dari perkawinan itu sendiri yaitu untuk membentuk
sebuah keluarga yang bahagia berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Oleh karena
itu, kawin kontrak bukan merupakan perkawinan yang sah karena
pada dasarnya dilakukan bukan karena adanya tujuan yang mulia untuk mematuhi
perintah Tuhan dan untuk membentuk keluarga yang bahagia, melainkan hanya
untuk memenuhi tujuan-tujuan yang didasari kepentingan yang bertentangan dengan
hukum perkawinan itu sendiri, misalnya demi memenuhi kebutuhan ekonomi / hawa
nafsu. Selain itu dalam hukum perkawinan dikenal adanya asas pencatatan
perkawinan yang tertuang dalam pasal 2 ayat (2 ) Undang-undang Nomor 1 tahun
1974 bahwa ” Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.”[ Kementrian Agama, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Humaniora
Utama Press, 1992),18].
pada dasarnya dilakukan bukan karena adanya tujuan yang mulia untuk mematuhi
perintah Tuhan dan untuk membentuk keluarga yang bahagia, melainkan hanya
untuk memenuhi tujuan-tujuan yang didasari kepentingan yang bertentangan dengan
hukum perkawinan itu sendiri, misalnya demi memenuhi kebutuhan ekonomi / hawa
nafsu. Selain itu dalam hukum perkawinan dikenal adanya asas pencatatan
perkawinan yang tertuang dalam pasal 2 ayat (2 ) Undang-undang Nomor 1 tahun
1974 bahwa ” Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.”[ Kementrian Agama, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Humaniora
Utama Press, 1992),18].
Kawin kontrak bukan hanya tidak dicatat
menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku tetapi proses dari perkawinannya itu sendiri
berlangsung secara diam-diam bahkan tidak banyak orang yang mengetahuinya.
Adapun pengertian “sah” dalam pandangan para pelaku kawin kontrak hanya
didasarkan pada terpenuhinya persyaratan dua calon mempelai, persetujuan orang
tua, penghulu, dan mahar, sehingga mereka berpikir bahwa secara agama
perkawinan tersebut sah meskipun tidak dicatat.
perundang-undangan yang berlaku tetapi proses dari perkawinannya itu sendiri
berlangsung secara diam-diam bahkan tidak banyak orang yang mengetahuinya.
Adapun pengertian “sah” dalam pandangan para pelaku kawin kontrak hanya
didasarkan pada terpenuhinya persyaratan dua calon mempelai, persetujuan orang
tua, penghulu, dan mahar, sehingga mereka berpikir bahwa secara agama
perkawinan tersebut sah meskipun tidak dicatat.
Ini
adalah pemahaman yang keliru karena berdasarkan hukum perkawinan,
perkawinan itu akan sah apabila dicatat oleh lembaga yang berwenang melakukan
pencatatan. Mengenai asas pencatatan ini pun tertuang dalam Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1991 yang merupakan pelaksanaan dari pasal 2 ayat (2) Undang
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kemudian jika dilihat dari
Syarat-syarat perkawinan yaitu yang termuat dalam pasal 6 ayat (1) yang berbunyi :
” Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.“[ Soemiyati,
Op. Cit., 140].
perkawinan itu akan sah apabila dicatat oleh lembaga yang berwenang melakukan
pencatatan. Mengenai asas pencatatan ini pun tertuang dalam Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1991 yang merupakan pelaksanaan dari pasal 2 ayat (2) Undang
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kemudian jika dilihat dari
Syarat-syarat perkawinan yaitu yang termuat dalam pasal 6 ayat (1) yang berbunyi :
” Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.“[ Soemiyati,
Op. Cit., 140].
Kenyataannya,
kawin kontrak lebih banyak terjadi bukan berasal dari
persetujuan calon mempelai tetapi terjadi karena paksaan dari orang tua (jika pihak
perempuan) yang karena faktor ekonominya kurang mampu sehingga tega menjual
anak-anaknya sendiri untuk tujuan menyambung hidup. Persetujuan yang terjadi
pada umumnya hanya terucap secara lisan saja berdasarkan paksaan, bukan karena
hati nurani. Dan ini sudah melanggar ketentuan dari tujuan perkawinan itu sendiri
yang harus didasari oleh kehendak dan tujuan yang baik untuk memenuhi perintah
Tuhan. Sedangkan dari pihak laki-laki sudah jelas tujuannya hanya sebatas pemuas
nafsu biologis semata atau juga tujuan-tujuan lainnya yang hanya berorientasi pada
kepentingan sepihak. Pasal 7 ayat (1) undang-undang perkawinan menyatakan
bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(Sembilan belas) dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)
tahun.”
persetujuan calon mempelai tetapi terjadi karena paksaan dari orang tua (jika pihak
perempuan) yang karena faktor ekonominya kurang mampu sehingga tega menjual
anak-anaknya sendiri untuk tujuan menyambung hidup. Persetujuan yang terjadi
pada umumnya hanya terucap secara lisan saja berdasarkan paksaan, bukan karena
hati nurani. Dan ini sudah melanggar ketentuan dari tujuan perkawinan itu sendiri
yang harus didasari oleh kehendak dan tujuan yang baik untuk memenuhi perintah
Tuhan. Sedangkan dari pihak laki-laki sudah jelas tujuannya hanya sebatas pemuas
nafsu biologis semata atau juga tujuan-tujuan lainnya yang hanya berorientasi pada
kepentingan sepihak. Pasal 7 ayat (1) undang-undang perkawinan menyatakan
bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(Sembilan belas) dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)
tahun.”
Dalam undang-undang
Perkawinan dikenal asas bahwa para pihak harus sudah aqil
balig. “Aqil” dalam hal ini adalah ‘berakal” dan balig adalah “dewasa secara fisik”.
Banyak pihak yang mengartikan dewasa itu hanya sebagai “balig”, padahal
kedewasaan itu ditunjang oleh “aqil” sehingga seseorang tersebut mempunyai akal
untuk berfikir atau mempertimbangkan sesuatu itu apakah benar atau tidak, apakah
berakibat buruk atau tidak.
balig. “Aqil” dalam hal ini adalah ‘berakal” dan balig adalah “dewasa secara fisik”.
Banyak pihak yang mengartikan dewasa itu hanya sebagai “balig”, padahal
kedewasaan itu ditunjang oleh “aqil” sehingga seseorang tersebut mempunyai akal
untuk berfikir atau mempertimbangkan sesuatu itu apakah benar atau tidak, apakah
berakibat buruk atau tidak.
Demikian pula pada masalah
perkawinan, kedua calon mempelai itu dituntut tidak hanya dewasa secara fisik
tetapi juga dewasa secara pemikiran sehingga akan mampu menjalankan bahtera
perkawinannya secara sehat.Jika merujuk pada keterangan para pelaku kawin
kontrak, pada umumnya syarat aqil dan balig itu hanya dimiliki oleh satu pihak
(misalnya dari pihak laki-laki yang rata-rata sudah berusia dewasa dan memiliki
akal untuk mempertimbangkan baik dan buruknya perkawinan kontrak namun mereka
mengabaikan hal tersebut) namun di lain pihak.
Calon mempelai perempuan berusia di
bawah 16 tahun atau berusia di atas enam belas tahun namun belum memiliki
kedewasaan yang cukup untuk mempertimbangkan baik buruknya melakukan kawin
kontrak sehingga mereka menurut saja ketika orang tua memaksanya atau keadaan
ekonomi menuntutnya untuk dilakukan perkawinan komersial tersebut. Oleh karena
itu jenis perkawinan ini sangat bertentangan dengan nilai kepatutan di
masyarakat, serta bertentangan dengan agama dan hukum negara.
Di Indonesia perkawinan adalah sah
apabila dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. UU No.
1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan hukum islam memandang bahwa perkawinan itu
tidak hanya dilihat dari aspek formalnya semata-mata, tetapi juga dilihat dari
aspek agama dan sosial. Aspek agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan
sedangkan aspek formal adalah menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan
di KUA atau catatan sipil.
Kawin kontrak merupakan sebuah
fenomena terselubung dalam masyarakat sekarang ini. Pelaksanaan kawin kontrak
sangat bertentangan dengan UU No.1 Tahun 1974, karena dalam kawin kontrak yang
ditonjolkan hanya nilai ekonomi, dan perkawinan ini hanya bersifat sementara.
Menurut UU No.1 Tahun 1974, perkawinan haruslah bersifat kekal untuk
selama-lamanya.
2. Menurut
syari’at Islam.
Memang benar bahwa nikah mut’ah ini
pernah dibolehkan ketika awal Islam, tapi
kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam
kitabnya Syarh Shahih Muslim:
وَالصَّوَاب
الْمُخْتَار أَنَّ التَّحْرِيم وَالْإِبَاحَة كَانَا مَرَّتَيْنِ، وَكَانَتْ
حَلَالًا قَبْل خَيْبَر ، ثُمَّ حُرِّمَتْ يَوْم خَيْبَر، ثُمَّ أُبِيحَتْ
يَوْم فَتْح مَكَّة وَهُوَ يَوْم أَوْطَاس،
لِاتِّصَالِهِمَا، ثُمَّ حُرِّمَتْ يَوْمئِذٍ بَعْد ثَلَاثَة أَيَّام تَحْرِيمًا
مُؤَبَّدًا إِلَى يَوْم الْقِيَامَة،
وَاسْتَمَرَّ التَّحْرِيم
“Yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah
bahwa pernah dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni
dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang
Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau hari
perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari
kiamat”.
Alasan kenapa ketika itu dibolehkan
melaksanakan nikah mut’ah, karena ketika itu dalam keadaan perang yang jauh
dari istri, sehingga para sahabat yang ikut perang merasa sangat berat. Dan
lagi pada masa itu masih dalam masa peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah.
Jadi wajar jika Allah memberikan keringanan (rukhshah) bagi para sahabat ketika
itu.
Haramnya nikah mut’ah, menurut
Bahtsul Masail DPP Ittihadul Muballighin, berlandaskan dalil-dalil Hadits Nabi
dan juga pendapat para ulama dari empat madzhab. Dalil dari Hadits Nabi yang
diriwayatkan Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim menyatakan bahwa:
وَحَدَّثَنِى سَلَمَةَ
بْنُ شَبِيبٍ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ أَعْيَنَ حَدَّثَنَا مَعْقِلٌ عَنِ ابْنِ
أَبِى عَبْلَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِي
قَالَ حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ
الْجُهَنِىُّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ
الْمُتْعَةِ وَقَالَ
« أَلاَ إِنَّهَا حَرَامٌ مِنْ يَوْمِكُمْ هَذَا
إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ كَانَ أَعْطَى شَيْئًا فَلاَ يَأْخُذْهُ »
. صحيح مسلم
– (ج 4 / ص 134)
Dari Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani, ia
berkata: Kami bersama Nabi Muhammad SAW dalam suatu perjalanan haji. Pada suatu
saat kami berjalan bersama saudara sepupu kami dan bertemu dengan seorang
wanita. Jiwa muda kami mengagumi wanita tersebut, sementara dia mengagumi
selimut (selendang) yang dipakai oleh saudaraku itu. Kemudian wanita tadi
berkata: Ada selimut seperti selimut. Akhirnya aku menikahinya dan tidur
bersamanya satu malam. Keesokan harinya aku pergi ke Masjid Al-Haram, dan
tiba-tiba aku melihat Nabi SAW sedang berpidato di antara pintu Ka’bah dan
Hijir Ismail. Beliau bersabda: Wahai sekalian manusia, Aku pernah mengizinkan
kepada kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Maka sekarang siapa yang mempunyai
istri dengan cara nikah mut’ah, haruslah ia menceraikannya, dan segala sesuatu
yang telah kalian berikan kepadanya janganlah kalian ambil lagi. Karena Allah
Azza wa Jalla telah mengharamkan nikah mut’ah sampai hari kiamat. (Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Muslim , Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Majah, Imam al-Nasa’i
, Imam al- Darimi, Imam Ibnu Syahin).
Dalil Hadits
lainnya:
حَدَّثَنَا
مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ أَنَّهُ سَمِعَ
الزُّهْرِيَّ يَقُولُ أَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ
وَأَخُوهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِمَا أَنَّ عَلِيًّا
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لِابْنِ عَبَّاسٍ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُتْعَةِ وَعَنْ
لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ ( زَمَنَ
خَيْبَرَ صحيح البخاري – (ج 5 / ص 1966
Dari Ali bin Abi Tholib r.a. ia
berkata kepada Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi Muhammad SAW melarang nikah mut’ah
dan memakan daging keledai jinak pada waktu perang Khaibar. (Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari , Imam al- Tirmidzi , Imam Malik bin Anas ,
Imam Ibni Hibban, Imam al-Baihaqi, Imam al-Daruqutni dan Imam Ibnu Abi
Syaibah).
Jadi kawin kontrak atau nikah
muth’ah itu dilarang oleh Islam. Karena dapat merusak tujuan utama dari
perkawinan itu sendiri sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an
berikut ini:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Rum: 21).
Kawin kontrak dalam Islam disebut
dengan istilah nikah mut’ah. Hukumnya adalah haram dan akad nikahnya tidak sah
alias batal. Hal ini sama saja dengan orang sholat tanpa berwudhu’, maka
sholatnya tidak sah alias batal. Tidak diterima oleh Allah SWT sebagai ibadah.
Demikian pula orang yang melakukan kawin kontrak akad nikahnya tidak sah alias
batal, dan tidak diterima Allah SWT sebagai amal ibadah.
Mengapa kawin kontrak tidak sah?
Sebab nash-nash dalam Al Qur`an maupun Al Hadits tentang pernikahan tidak
mengkaitkan pernikahan dengan jangka waktu tertentu. Pernikahan dalam Al Qur`an
dan Al Hadits ditinjau dari segi waktu adalah bersifat mutlak, yaitu maksudnya
untuk jangka waktu selamanya, bukan untuk jangka waktu sementara. Maka dari
itu, melakukan kawin kontrak yang hanya berlangsung untuk jangka waktu tertentu
hukumnya tidak sah, karena bertentangan ayat Al Qur`an dan Al Hadits yang sama
sekali tidak menyinggung batasan waktu.
FATWA PARA ULAMA TENTANG NIKAH MUT'AH
FATWA PARA ULAMA TENTANG NIKAH MUT'AH
1.
Ulama Madzhab Hanafi :
a. Imam Al-Sarakhsi
berkata:''Nikah mut'ah ini batil menurut madzhab kami''.
b. Imam
Al-Kasani berkata: ''Tidak boleh nikah yang bersifat sementara yaitu
nikah mut'ah''.
nikah mut'ah''.
c. Imam Abu Ja'far
Ath-Thohawi berkata; ''Sesungguhnya semua hadis yang
membolehkan nikah mut'ah telah di mansukh (di hapus)''. Beliau juga berkata: lihatlah umar beliaumelarang nikah mut'ah di hadapan semua sahabat, tanpa ada yang mengingkari. Ini adalah dalil bahwasanya mereka
mengikuti larangan Umar, dan kesepakatan mereka untuk melarang hal tersebut adalah hujjah atas di hapusnya kebolehan mut'ah .''
membolehkan nikah mut'ah telah di mansukh (di hapus)''. Beliau juga berkata: lihatlah umar beliaumelarang nikah mut'ah di hadapan semua sahabat, tanpa ada yang mengingkari. Ini adalah dalil bahwasanya mereka
mengikuti larangan Umar, dan kesepakatan mereka untuk melarang hal tersebut adalah hujjah atas di hapusnya kebolehan mut'ah .''
2.
Ulama Madzhab Maliki:
a. Imam Malik
bin Anas v berkata : ''Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan di batasi
waktu maka nikahnya batil ''.
b.
Imam Ibnu
Rusyd v berkata ; ''Hadis –hadis yang mengharamkan nikah
mut'ah mencapai peringkat yang mutawatir''.
mut'ah mencapai peringkat yang mutawatir''.
c.
Imam Ibnu
Abdil Barr v ; ''Adapun semua shahabat ,Thabi'in dan orang-
orang yang setelah mereka mengharamkan nikah mut'ah, di antara mereka
adalah Imam Malik dari Madinah, Abu Hanifah dan Abu Tsur dari Kufah,
Al-Auza'I dari Syam, laits bin Sa'ad dari Mesir serta seluruh ulama hadis.
orang yang setelah mereka mengharamkan nikah mut'ah, di antara mereka
adalah Imam Malik dari Madinah, Abu Hanifah dan Abu Tsur dari Kufah,
Al-Auza'I dari Syam, laits bin Sa'ad dari Mesir serta seluruh ulama hadis.
3.
Ulama Madzhab Syafi'I :
a.
Imam
Asy-Syafi'I berkata : ''Nikah mut'ah yang di larang itu adalah semua
nikah yang di batasi dengan waktu baik pendek maupun panjang'.
nikah yang di batasi dengan waktu baik pendek maupun panjang'.
b.
Imam Nawawi
berkata : ''Nikah mut'ah tidak di perbolehkan, karena
pernikahan itu pada dasarnya suatu akad yang bersifat mutlak, Maka tidak
sah apabila dibatasi dengan waktu.
pernikahan itu pada dasarnya suatu akad yang bersifat mutlak, Maka tidak
sah apabila dibatasi dengan waktu.
c. Imam
Al-Khothobi berkata : ''keharaman nikah mut'ah semacam
kesepakatan antara kaum muslimin, memang nikah ini di halalkan di awal
masa Islam, Akan tetapi di haramkan pada sa'at haji wada dan demikian
itu terjadi di akhir–akhir masa Rasulullah n dan sekarang tidak ada
perbeda'an antar para ulama mengenai keharaman masalah ini kecuali
sedikit dari kalangan orang–orang Syiah Rafidhah.
kesepakatan antara kaum muslimin, memang nikah ini di halalkan di awal
masa Islam, Akan tetapi di haramkan pada sa'at haji wada dan demikian
itu terjadi di akhir–akhir masa Rasulullah n dan sekarang tidak ada
perbeda'an antar para ulama mengenai keharaman masalah ini kecuali
sedikit dari kalangan orang–orang Syiah Rafidhah.
4.
Ulama Madzhab Hanbali
a.
Imam Ibnu
Qudamah v berkata : ''Nikah mut'ah ini batil sebagaimana
ditegaskan oleh Imam Ahmad, beliau berkata : ''nikah mut'ah haram''.
ditegaskan oleh Imam Ahmad, beliau berkata : ''nikah mut'ah haram''.
b.
Bahkan
sebagian ulama menukil ijma tentang keharaman nikah mut'ah
seperti Imam Al-Baghowi sebagaimana di nukil Syaikh Shidiq hasan
khon, Imam Al Qurthubi, Ibnul Al-Arobi dan Sayyid Sabiq.
seperti Imam Al-Baghowi sebagaimana di nukil Syaikh Shidiq hasan
khon, Imam Al Qurthubi, Ibnul Al-Arobi dan Sayyid Sabiq.
· Majlis ulama pusat telah
memfatwakan akan keharaman nikah mut'ah pada sk fatwa
nomer: kep –B-679/MUI /XI/1997.
nomer: kep –B-679/MUI /XI/1997.
D.
Dampak
Negatif Dan Positif Adanya Kawin Kontrak.
1. Dampak
Positif.
Selain dampak negatif, nikah mut’ah pun ternyata juga
mempunyai dampak postif. Dampak
positifnya adalah memerlukan seseorang, karena ia khawatir terjerumus ke dalam
fitnah dan salah satu cara pemeliharaan diri dari zina dan perbuatan keji, hal
ini adalah pendapat Jumhur ulama, sebagaimana disebutkan oleh penulis kitab
Al-Mughni, yaitu Muwaffiquddin Ibnu Qudamah Rahimahullah.
2. Dampak
negatif.
a. Kawin
kontrak merupakan bentuk pelecehan terhadap martabat kaum wanita. Jadi
pihak wanita sangat dirugikan.
pihak wanita sangat dirugikan.
b.
Kawin
kontrak mengganggu keharmonisan keluarga dan meresahkan masyarakat.
c. Kawin kontrak
berakibat menelantarkan generasi yang dihasilkan oleh
perkawinan itu.
perkawinan itu.
d. Kawin
kontrak bertentangan dengan Undang Undang Perkawinan No.1/1974
pasal 1 dan 2.
pasal 1 dan 2.
e. Kawin
kontrak dicurigai dapat menimbulkan dan menyebarkan penyakit kelamin.
f. Kawin
kontrak sangat potensial untuk merusak kepribadian dan budaya luhur
bangsa Indonesia.
bangsa Indonesia.
g. Penyia-nyiaaan anak. Anak
hasil kawin kontrak sulit disentuh oleh kasih sayang orang tua (ayah). Kehidupannya yang tidak
mengenal ayah membuatnya jauh dari tanggung jawab pendidikan orang tua, asing
dalam pergaulan, sementara mentalnya terbelakang. Keadaannya akan lebih parah
jika anak tersebut perempuan. Kalau orang-orang menilainya sebagai perempuan
murahan, bisakah dia menemukan jodohnya dengan cara yang mudah? Kalau iman dan
mentalnya lemah, tidak menutup
kemungkinan dia akan mengikuti jejakibunya.
h. Kemungkinan terjadinya nikah haram. Minimnya
interaksi antara keluarga dalam kawin kontrak apalagi setelah perceraian,
membuka jalan terjadinya perkawinan
antara sesama anak seayah yang berlainan ibu, atau bahkan perkawinan anak dengan ayahnya. Sebab tidak ada saling kenal di antara mereka.
antara sesama anak seayah yang berlainan ibu, atau bahkan perkawinan anak dengan ayahnya. Sebab tidak ada saling kenal di antara mereka.
i. Menyulitkan proses pembagian harta warisan.
Ayah anak hasil kawin kontrak lebih-lebih yang saling berjauhan – sudah
biasanya sulit untuk saling mengenal.
Penentuan dan pembagian harta warisan tentu tidak mungkin dilakukan sebelum jumlah ahli waris dapat dipastikan.
Penentuan dan pembagian harta warisan tentu tidak mungkin dilakukan sebelum jumlah ahli waris dapat dipastikan.
k.
Pencampuradukan nasab lebih-lebih
dalam kawin kontrak bergilir. Sebab disini
sulit memastikan siapa ayah dari anak yang akan lahir.
sulit memastikan siapa ayah dari anak yang akan lahir.
E.
Sebab-Sebab Diharamkannya Nikah Mut’ah
Sebagaimana telah diketahui bahwa, tujuan diutusnya Rasulullah saw adalah
rahmat bagi seluruh alam, Karena itu, maka Allah swt mengharamkan Nikah Mut’ah
kerna tidak sesuai dengan misi yang diemban Rasulullah saw. Memang pada mulanya
nikah ini dibolehkan, akan tetapi, hal ini hanya sebatas keringanan bagi
Sahabat-Sahabat Rasulullah saw. Dimana kita ketahui, bahwa jarak antara keislaman
mereka masih dekat dengan kebiasaan-kebiasaan yang mereka tumbuh didalamnya
sebelum datangnya islam.
Keringanan ini juga hanya terjadi dalam peperengan, maka tidak masuk akal
dalam keadaan seperti ini, meminta mereka menahan syahwat mereka dengan berpuasa.
Karena tidak benenar dalam peperengan melemahkan seorang Mujahid dengan cara
apapun dan dalam keadaan apapun. Keadaan inilah yang menjadi dasar
dibolehkannya Nikah Mut’ah.
Setelah hilangnya sebab-sebab di atas, Allah menghapusnya melalui firmannya
dan Lisan Rasulnya saw. Karena, Nikah Mut’ah menyusahkan perempuan dan anak
yang lahir dari mereka. Dan setelah diharamkan, tidak ada dari sahabat dan
tabi’in yang melakukan itu lagi.
Bila dilihat dari definisi Nikah Mut’ah, pernikahan seperti ini terjadi
kontradiksi terhadap arti nikah sesungguhnya. Sebab tujuan sebuah pernikahan
adalah suatu ikatan yang kuat dan perjanjian yang teguh yang ditegakkan diatas
landasan niat untuk bergaul antara suami istri dengan abadi supaya memetik buah
kejiwaan yang telah digariskan Allah swt dalam Al-Qur'an yaitu ketentraman,
kecintaan, dan kasih sayang. Sedangkan tujuan yang bersifat duniawi adalah demi
berkembangnya keturunan dan kelangsungan hidup manusia [Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
2002. hlm 25].
Seperti
Firman Allah SWT [QS.An-Nahl : 76]
Artinya:
“Dan Allah
membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat
berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia
disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu
kebajikanpun. samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan,
dan dia berada pula di atas jalan yang lurus?.”QS. An-Nahl : 76
Artinya:
“Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta
satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan Mengawasi kamu.”QS.An-Nissa : 1
maksud dari
padanya menurut Jumhur Mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam
a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada pula yang
menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari
padanya Adam a.s. diciptakan.
menurut
kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya kepada
orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti :As aluka billah artinya saya
bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah.
Dalam prinsip-prinsip sebuah pernikahan, Nikah Mut'h, sangat tidak sesuai
dengan nikah yang telah Allah swt syari'atkan. Dimana diketahui bahwa, Nikah
mut'ah dibatasi oleh waktu, dengan demikian, Nikah Mut'ah berakhir dengan
habisnya waktu yang ditentukan dalam aqad atau faskh, sedangkan dalam syari'at,
pernikahan berakhir dengan talak atau meninggal dunia, dengan kata lain tidak
dibatasi oleh waktu.
Selain dibatasi oleh waktu, Nikah Mut'ah juga tidak membatasi jumlah istri
yang boleh dinikahi. Maka boleh bagi seorang pria menikah lebih dari empat
orang istri. Dan ini dapat dilakukan tanpa wali atau tanpa persetujuan walinya,
dan dalam pernikahan ini tidak diperlukan saksi, pengumuman, perceraian, pewarisan dan pemberian nafkah
setelah selesainya waktu yang telah disepakati. Kecuali sebelumnya telah
terjadi kesepakatan atau apabila si perempuan itu hamil.
Bila ditinjau dari segi mudhoratnya (dampak negatif), Nikah Mut'ah
merupakan bentuk pelecehan terhadap kaum wanita, merusak keharmonisan keluarga,
menelantarkan generasi yang dihasilkan dari pernikahan tersebut, menimbulkan
dan menyebarkan penyakit kelamin, meresahkan masyarakat, dan karena tidak
diwajibkan adanya wali dan saksi, bisa jadi, seseorang mengumpulkan antara dua
bersaudara, atau antara anak dan ibunya atau bibinya dan tidak menutup
kemungkinan, ia menikahi anaknya sendiri dari hasil Pernikahan Mut'ah yang
dilakukan sebelumnya, bahkan, bisa jadi ia mengumpulkannya dengan ibunya karena
ketidak tahuannya dan tidak adanya orang yang mengetahuinya.
Dengan demikian, jelaslah bagi kita sebab-sebab diharamkannya Nikah Mut'ah,
selain tidak sesuai dengan misi diutusnya Rasulullah saw (rahmatan lilalaamin)
dan syari'at yang dibawanya, Nikah Mut'ah juga memiliki banyak mudhorat (dampak
negatif), yang berdampak pada Agama, masyarakat maupun akhlak, oleh kerna itu,
Rasulullah saw mengharamkannya, karena didalamnya terdapat berbagai macam
kerusakan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
1. Kawin Kontrak
adalah pernikahan antara laki-laki dan perempuan dengan menyebutkan batas waktu
tertentu ketika akad nikah, misalnya satu minggu, satu bulan, satu tahun, dan
sebagainya. Jika massanya sudah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah
tanpa kata thalaq dan tanpa warisan.
2. Sejarah kawin kontrak: pada zaman
Rasulullah, saat itu Rasulullah mengizinkan
tentaranya yang terpisah jauh dari istrinya untuk melakukan Kawin kontrak, dari
pada melakukan penyimpangan. Namun kemudian Rasulullah mengharamkannya
ketika melakukan pembebasan kota Mekah pada tahun 8 H / 630 M. Kawin kontrak
diawal-awal Islam dihukumi halal lalu dinaskh (dihapus). Kawin ini menjadi haram
hingga hari kiamat.
tentaranya yang terpisah jauh dari istrinya untuk melakukan Kawin kontrak, dari
pada melakukan penyimpangan. Namun kemudian Rasulullah mengharamkannya
ketika melakukan pembebasan kota Mekah pada tahun 8 H / 630 M. Kawin kontrak
diawal-awal Islam dihukumi halal lalu dinaskh (dihapus). Kawin ini menjadi haram
hingga hari kiamat.
3. Kawin
kontrak atau nikah muth’ah haram hukumnya. Karena sangat bertentangan
dengan Al-Qur’an.
dengan Al-Qur’an.
4. Kawin kontrak selain mempunyai
dampak negatif, disisi lain ada dampak positifnya. Tetapi dampak positif ini
hanya berlaku pada saat perang pada zaman Rasulullah karena untuk mmbangkitkan
semangat para sahabat yang jauh dari istrinya untuk jihad dijalan Allah SWT.
5.
Jelaslah bahwa kawin kontrak itu hukumnya haram. Maka dari itu, orang
yang melakukan kawin kontrak sesungguhnya bukan menikah secara halal, tapi
telah berbuat zina yang merupakan dosa besar dalam Islam. Na’uzhu billahi min
dzalik. Allah SWT berfirman (yang artinya),”Dan janganlah kamu mendekati zina,
sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang sangat keji dan suatu jalan yang
buruk.” (QS Al Israa` [17] : 32).
B.
Saran
Kawin
Kontrak merupakan pernikahan yang dilarang oleh Islam. Jadi harus
ditemukan jalan keluar untuk
mencegah maraknya kawin kontrak. Solusinya adalah
dengan mengadakan seminar dan penyuluhan mengenai hukum kawin kontrak serta
menjelaskan sebab akibat kawin kontrak. Dengan tujuan tersebut supaya masyarakat
sadar bahwa sebuah perkawinan merupakan bagian hidup yang sakral.
dengan mengadakan seminar dan penyuluhan mengenai hukum kawin kontrak serta
menjelaskan sebab akibat kawin kontrak. Dengan tujuan tersebut supaya masyarakat
sadar bahwa sebuah perkawinan merupakan bagian hidup yang sakral.
Hendaklah
kita semua dapat memilih jalan yang benar dan dan diridhoi Allah dalam
menyalurkan nafsu seksual kita, yaitu pernikahan yang sah, bukan pernikahan
secara kawin kontrak. Walaupun kawin kontrak itu dapat menghasilkan materi
(uang) dan kenikmatan, tapi ingatlah itu hanya sesaat di dunia yang fana ini.
Akibatnya di akhirat bukanlah surga, melainkan neraka. Camkan sabda Nabi Muhammad
SAW, ”Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang,
yaitu mulut dan kemaluan.” (HR Tirmidzi, no 2072, hadits shahih). Wallahu
a’lam.
DAFTAR
PUSTAKA
Kementrian
Agama RI. Al-Quran dan Tafsirnya. Jakarta: Widya Cahaya, 2011.
Kementrian
Agama. Kompilasi Hikum Islam. Bandung: Humaniora Utama Press, 1992.
Mahjuddin. Masailul Fiqhiyah. Jakarta: Kalam
Mulia, 2003.
Muliono, Anton. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta,
Balai Pustaka,1994Sabiq, sayyid.
Fikih Sunnah 6. Bandung:
PT. Alma’arif, 1980.
Soemiyati. Hukum
Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. Yogyakarta: Liberty, 2007.
Team
Musyawarah Guru Bina PAI Madrasah Aliyah. Al
Hikmah Fiqih. Sragen: Akik Pusaka, 2008.
Tihami, M.
A. dan Sohari Sahrani. Fikih
Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Sumber lain:
http://hidayah-cahayapetunjuk.blogspot.com/2013/05/nikah-mutah.html
No comments:
Post a Comment
Mohon Berkomentar dengan Bahasa yang Sopan. Kritik dan Saran Sangat diperlukan untuk Memajukan Blog ini terimakasih :D